Main Article Content

Abstract

Wajo in South Sulawesi is a region that has been known have findings from Islamic period, so it tends to be categorized as an area that civilization started around the 17th century AD. Research in Wajo intended to get an overview of distribution and development of the megalithic period, which is also known as the beginning of civilization. In its achieving, the survey method is used to determine the distribution of megalithic synchronization and also excavations conducted at the Cilellang site to reveal the variability of finds in the cultural layers and development of the megalithics in diachronic. Obtained a description of the research, Cilellang, Tobattang and Allangkanange megalithic sites developed since 13th until 15th century AD in the southeast of Tempe Lake. Agricultural activity is the main livelihood that is marked by 36 mortar stone finds on all three sites. Those three sites can also give an overview of the hierarchy of Allangkanange settlements that may have high social strata because it has the most extensive sites, more varied archaeological remains, and a higher location. Probably Allangkanange is the administrative center of Tobattang and Cilellang sites.

 

Kabupaten Wajo di Sulawesi Selatan merupakan daerah yang selama ini diketahui memiliki temuan-temuan masa Islam, sehingga cenderung dikategorikan sebagai daerah yang memulai peradabannya sekitar abad ke-17 Masehi. Penelitian di Wajo dimaksudkan untuk memperoleh gambaran mengenai distribusi dan masa perkembangan megalitik, dan juga dapat menandai awal peradabannya. Dalam pencapaiannya, digunakan metode survei untuk mengetahui distribusi megalitik secara sinkronis dan dilakukan ekskavasi di situs Cilellang untuk mengetahui variabilitas temuan dalam lapisan budaya dan masa perkembangan megalitik secara diakronis. Dari penelitian diperoleh gambaran bahwa situs Cilellang, Tobattang dan Allangkanange merupakan situs megalitik yang berkembang sejak abad ke-13 hingga abad ke-15 M di wilayah sebelah tenggara Danau Tempe. Aktivitas pertanian merupakan mata pencaharian pokok ditandai dengan temuan 36 lumpang batu pada ketiga situs tersebut. Ketiga situs juga dapat memberi gambaran secara hirarki, yaitu  situs Allangkanange mungkin mempunyai strata sosial permukiman yang lebih tinggi dibandingkan situs Cilellang dan Tobattang, karena memiliki luas situs paling besar, tinggalan arkeologi yang lebih bervariatif dan lokasi yang lebih tinggi. Mungkin saja situs Allangkanange adalah pusat pemerintahan dari situs Cilellang dan Tobattang. 

Keywords

megalitik hirarki situs permukiman

Article Details

Author Biography

nfn Hasanuddin, Balai Arkeologi Sulawesi Selatan

Peneliti Arkeologi Prasejarah di Balai Arkeologi Sulawesi Selatan
How to Cite
Hasanuddin, nfn. (2017). Situs-situs Megalitik di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. Kapata Arkeologi, 13(1), 83-94. https://doi.org/10.24832/kapata.v13i1.395

References

  1. Abidin, Z. (1985). Wajo abad XV – XVI Suatu Penggalian Sejarah Terpendam Sulawesi Selatan dari Lontara. Bandung: Alumni.
  2. Balar Sulsel. (2014). Laporan Penelitian Situs Cilellang, Kabupaten Wajo. Unpublish.
  3. Balar Sulsel. (2015). Situs-situs di Sebelah Tenggara Danau Tempe, Kabupaten Wajo. Unpublish.
  4. Bulbeck, D., & Caldwell, I. (2000). The Land of Iron: The Historical Archaeology of Luwu and The Cenrana Valley. Hull: University of Hull, Centre for South-East Asian Studies.
  5. Bulbeck, D. & I. Caldwell. (2008). Oryza Sativa and The Origins Of Kingdoms In South Sulawesi, Indonesia: Evidence from Rice Husk Phytoliths. Indonesia and the Malay World, 36(104), 1–20. London: Routledge.
  6. Bulbeck, D., & Hakim, B. (2009). The Earthenware form Allangkanangnge ri Latanete Excavated in 1999. Walennae, 11(2), 99-106.
  7. Caldwell, I. (1995). Power, State and Society Among The Pre-Islamic Bugis. Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde, 151(3), 394-421.
  8. Duli, Akin. (1988). Peninggalan Arkeologi di Tosora. Skripsi Arkeologi Universitas Hasanuddin.
  9. Duli, Akin. (2010). Peranan Tosora sebagai Pusat Pemerintahan Kerajaan Wajo Abad XVI – XIX. Walennae, 12(2), 143-158.
  10. Hadimulyono. (1985). Studi Kelayakan Bekas Ibu Kota Kerajaan Wajo (Abad XVII) di Tosora, Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: SPSP Sulselra. Unpublish.
  11. Hamris. (1990). Bentuk Nisan Kompleks Makam Raja-Raja Wajo di Tosora. Skripsi Arkeologi Universitas Hasanuddin.
  12. Hasanuddin, & Chia, S. (2015). Megalitik dan Hubungannya dengan Sistem Pertanian di Sulawesi Selatan. Dalam Prasetyo, B., & N. Rangkuti, (Ed.), Pernak-Pernik Megalitik Nusantara (pp. 345-376). Yogyakarta: Galangpress.
  13. Kallupa, Bahru. (1987). Laporan Ekskavasi Penyelamatan di Desa Tosora Kecamatan Majauleng Kabupaten Wajo. Ujung Pandang: SPSP Sulselra. Unpublish.
  14. Nurhikmah. (1995). Kepemimpinan La Tadampare Puang Ri Maggalatung sebagai Arung Matowa Wajo IV (1491-1521): Suatu Tinjauan Historis. Skripsi Jurusan Sejarah Universitas Hasanuddin.
  15. Patunru, A. R. D. (1983). Sejarah Wajo. Ujung Pandang: Yayasan Kebudayaan Sulselra.
  16. Soejono, R. P., (Ed.). (1984). Sejarah Nasional Indonesia I. Jakarta: Balai Pustaka.
  17. Sukendar, Haris. (1985). Peranan Menhir dalam Masyarakat Prasejarah di Indonesia. Prosiding Pertemuan Ilmiah Arkeologi III (pp. 92-106). Ciloto: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.