Main Article Content
Abstract
Kema merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Minahasa Utara yang berada di pesisir selatan Sulawesi. Saat ini Kema dikenal sebagai perkampungan nelayan padat penduduk yang terbagi menjadi Kema I, Kema II, dan Kema III. Riwayat sejarah Kema sudah dikenal semenjak abad XVI oleh pelaut-pelaut Eropa yang singgah untuk mengisi air minum, kemudian berkembang hingga menjadi sebuah kota pelabuhan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pasang surut keberadaan pelabuhan kema dalam perdagangan global Laut Sulawesi masa kolonial berdasarkan data arkeologi dan sejarah. Penelitian ini menggunakan pendekatan arkeologi kesejarahan yang memadukan data arkeologi dengan data sejarah. Tahapan penelitian meliputi tahap pengumpulan data, analisis data, dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan adanya bukti-bukti arkeologis yang mengindikasikan Kema dahulu merupakan sebuah permukiman yang sudah maju, meliputi pola permukiman dan jaringan jalan, pelabuhan dan saran pendukungnya, rumah ibadah, bangunan perumahan, pasar, dan jaringan komunikasi. Bukti arkeologis dan data sejarah mengungkap bahwa Kema dikenal sebagai pelabuhan laut yang memegang peranan penting dalam perdagangan global pada masa Kolonial. Pelabuhan Kema bahkan ditetapkan sebagai salah satu pelabuhan bebas di perairan Laut Sulawesi. Peran pelabuhan Kema saat ini mengalami kemunduran, hanya sebagai pelabuhan perikanan tidak lagi sebagai pelabuhan samudera.
Kema is one of the districts in Minahasa Utara Regency located on the southern coast of Sulawesi Utara. Currently, Kema is known as a densely populated fishing village which is divided into Kema Satu, Kema Dua, and Kema Tiga. Based on historical data, Kema has been known since the 16 century by European sailors who stopped to fill drinking water, then expanded into a port city. This study aims to determine the rise and fall of the existence of Kema in the global trade of the Sulawesi Sea in the colonial period based on archaeological and historical data. This study uses a historical archeology approach that combines archaeological data with historical data. Research stages include data collection phase, data analysis, and conclusion. The results indicate archaeological evidence shows that Kema was an advanced settlement, covering the settlement patterns and road networks, ports and supporting facilities, houses of worship, residential buildings, markets, and communications networks. Archaeological evidence and historical data reveal that Kema is known as a seaport that plays an important role in global trading during the Colonial period. Kema is even designated as one of the free ports in Sulawesi Sea. The role of Kema is currently declining, only as a fishing port no longer as an ocean port.
Keywords
Article Details
Kapata Arkeologi by Balai Arkeologi Maluku. Permissions beyond the scope of this license may be available at Copyright Notice.
References
[1] ANRI. (1858). Administratief Verslag van 1858. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia. (view)
[2] ANRI. (1921). Algemeen Verslag over de Residentie Manado 1800-1900. Jakarta: Arsip nasional Republik Indonesia. (view)
[3] Allied Geographical Section. (1945). Makassar: SW Celebes. [s.l]: Allied Geographical Section, Southwest Pacific Area. (view)
[4] Asnan, G. (2009). Pelabuhan-Pelabuhan Kota Padang Tempo Doeloe. Amoghapasa, 13/TahunXV, 17-20. (view)
[5] Bhatta, M. J. (1958). Tinjauan Tentang Kediaman Orang Jang Beragama Islam di Minahasa. Publikasi No. 8. (view)
[6] Bintarto, R. (1968). Beberapa Aspek Geografi. Yogyakarta: Penerbit Karya. (view)
[7] Funari, P. P. A., Jones, S., & Hall, M. (1999). Introduction: Archaeology in History. In P. Funari, S. Jones, M. Hall (Eds.), Historical Archaeology (pp. 1-20). London: Routledge. (view)
[8] Graafland, N. (1991). Minahasa Negeri, Rakyat dan Budayanya. In L. R. Montolalu (Ed.) Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti. (view)
[9] Hall, M., & Silliman, S. W. (2006). Introduction: Archaeology of the Modern World. In M. Hall (Ed.), Historical Archaeology. Oxford: Blackwell Publishing. (view)
[10] Handoko, W. (2015). Tata Kota Islam Ternate: Tinjauan Morfologi dan Kosmologi. Kapata Arkeologi, 11(2), 123-138. (view)
[11] Hantoro, W. S. (2002). Pengaruh Karakteristik Laut dan Pantai terhadap Perkembangan Kawasan Kota Pantai. Bandung: Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI. (view)
[12] Hartono, S., & Handinoto, H. (2007). Surabaya Kota Pelabuhan (Surabaya Port City) Studi tentang perkembangan bentuk dan struktur sebuah kota pelabuhan ditinjau dari perkembangan transportasi akibat situasi politik dan ekonomi dari abad 13 sampai awal abad 21. DIMENSI (Journal of Architecture and Built Environment), 35(1), 88-99. (view)
[13] Hasanuddin & Amin, B. (2012). Gorontalo dalam Dinamika Sejarah Masa Kolonial. Yogyakarta: Penerbit Ombak. (view)
[14] Henley, D. (2005). Fertility Food and Fever Population, Economy, and Environmet in North and Central Sulawesi, 1600-1930. Leiden: KITLV Press. (view)
[15] Indriyanto. (2015). Menjadi Pusat Pelayaran dan Perdagangan Interregional: Pelabuhan Surabaya 1900-1940. Thesis Universitas Gadjah Mada. (view)
[16] Iriyanto, N. (2010). Benteng-benteng Kolonial Eropa di Pulau Ternate dalam Peta Pelayaran dan Perdagangan Maluku Utara. Thesis Universitas Gadjah Mada. (view)
[17] Kartodirdjo, S. (1973). Ikhtisar Keadaan Politik Hindia Belanda Tahun 1839-1848. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia. (view)
[18] Kawilarang, H. (2007). Dari Quimas menjadi Kema. Retrieved December 15, 2017, from http://www.theminahasa.net/ (view)
[19] Kojongian, A. (2006). Tomohon Kotaku. Tomohon: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. (view)
[20] Kristanto, B. (1996). Sejarah Masyarakat Borgo di Tanawangko Minahasa 1919-1945. Thesis Universitas Sam Ratulangi. (view)
[21] Kumaat, N. A. (1996). Sejarah Masyarakat Borgo di Kema, Kauditan 1919-1945. Thesis Universitas Sam Ratulangi. (view)
[22] Lapian, A. (2009). Orang Laut Bajak Laut Raja Laut Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX. Jakarta: Komunitas Bambu. (view)
[23] Lawalata, H. A. (1981). Pelabuhan dan Niaga Pelayaran (Port Operation). Jakarta: Aksara Baru. (view)
[24] Leushuis, E. (2014). Panduan Jelajah Kota-Kota Pusaka di Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Ombak. (view)
[25] Limadharma, H. K. (1987). Tanam Paksa Kopi dan Monetisasi Petani Minahasa, 1822-1870. Thesis Universitas Indonesia. (view)
[26] Makkelo, I. D., & Budiman, M. (2010). Kota Seribu Gereja Dinamika Keagamaan dan Penggunaan Ruang di Kota Manado. Yogyakarta: Penerbit Ombak. (view)
[27] Manoppo, G. (1977). Struktur Bahasa Melayu Manado. Manado: Universitas Sam Ratulangi. (view)
[28] Mansyur, S. (2014). Sistem Perbentengan dalam Jaringan Niaga Cengkih Masa Kolonial di Maluku. Kapata Arkeologi, 10(2), 85-98. (view)
[29] Marihandono, D. (2008). Perubahan peran dan fungsi benteng dalam tata ruang kota. Wacana, 10(1), 144-160. (view)
[30] Marzuki, I. W. (2017). Laporan Penelitian Tata Kota Pantai Minahasa. Manado: Balai Arkeologi Sulawesi Utara. (view)
[31] Mawikere, F. (1997). Sekutu dalam Seteru: Gerakan Protes Kristen Minahasa dan Latar Belakang Politik Kolonial Etis Abad XIX sampai Awal Abad XX. Thesis Universitas Gadjah Mada. (view)
[32] Molsbergen, E. G. (1928). Geschiedenis van de Minahasa tot 1829. Weltevreden: Landsdrukkerij. (view)
[33] Mukhlis, P., Poelinggomang, E., Kallo, A. M., Sulistyo, B., Thosibo, A., & Maryam, A. (1995). Sejarah Kebudayaan Sulawesi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (view)
[34] Mulya, L. (2014). Kebijakan Maritim di Hindia Belanda: Langkah Komersil Pemerintah Kolonial. Mozaik, 7(1), 1-18. (view)
[35] Murphey, R. (1989). On Evolution of the Port City. In F. Broeze (Ed.), Brides of the Sea: Port Cities of Asia from 16th - 20th Century. Kinsington: New South Wales University Press. (view)
[36] Nayati, W. (2012). Mengenal Sulawesi Utara dari Sejarah dan temuan Arkeologis untuk Pembangunan Karakter dan Penguatan Jatidiri Bangsa. Yogyakarta: Mentari Pustaka. (view)
[37] Nur, N., Purwanto, B., & Suryo, D. (2016) Perdagangan dan Ekonomi di Sulawesi Selatan pada tahun 1900-an sampai dengan 1930-an. Jurnal Ilmu Budaya, 4(1), 617-712. (view)
[38] Nuralia, L. (2017). Struktur Sosial pada Rumah Pejabat Tinggi Perkebunan Zaman Hindia Belanda di Jawa Bagian Barat. Kapata Arkeologi, 13(1), 1-20. (view)
[39] Nurhadi, (1996). Pantai Utara Jawa, Mobilitas Manusia dan Dinamika Perubahan Budaya Studi Kasus Akhir Masa Kolonial Abad 19-20 M. Jurnal Penelitian Arkeologi, 4, 3-9. (view)
[40] Orser Jr, C. E. (1996). A Historical Archaeology of the Modern World. Boston: Springer Science. (view)
[41] Palar, H. B. (2009). Wajah Lama Minahasa. Bogor: Yayasan Gibon. (view)
[42] Pangemanan, H. H. (2004). Politik dan Perubahan Masyarakat di Bolaang Mongondow 1895-1942. Thesis Universitas Gadjah Mada. (view)
[43] Parengkuan, F. E. W. (1986). Sejarah Kota Manado, 1945-1979. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (view)
[44] Parengkuan, F. E.W. (1983). Sejarah Sosial Sulawesi Utara. Manado: Fakultas Sastra Universitas Sam Ratulangi. (view)
[45] Poelinggomang, E. L. (2002). Makassar Abad XIX: Studi tentang Kebijakan Maritim. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. (view)
[46] Pradjoko, D., & Utomo, B. B. (2013). Atlas Pelabuhan-Pelabuhan Bersejarah di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (view)
[47] Renwarin, P. R. (2007). Matuari wo Tonaas: Dinamika Budaya Tombulu di Minahasa. Jakarta: Cahaya Pineleng. (view)
[48] Riedel, J. (1869). Het Oppergezag der Vorsten van Bolaang over de Minahasa. In Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde van Nederlandsche-Indië, 17, 505-524. (view)
[49] Rompas, J. (1995). Pendidikan dan Perubahan Sosial Masyarakat Pedesaan di Minahasa. Antropologi Indonesia, 0(51), 57-63. (view)
[50] Schouten, M. (1998). Leadership and Social Mobility in A Southeast Asian Society Minahasa 1677-1983. Leiden: KITLV Press. (view)
[51] Sigarlaki, D. (1977). Sejarah Daerah Sulawesi Utara. Jakarta: PPSDB Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (view)
[52] Sondakh, L., & Sembel, D. (2014). Pengaruh Ekonomi Pasar pada Teknologi Pertanian di Minahasa. Antropologi Indonesia, 0(51), 45-56. (view)
[53] Spencer-Wood, S. M., & Baugher, S. (2010). Introduction to the Historical Archaeology of Powered Cultural Landscapes. International Journal of Historical Archaeology, 14(4), 463-474. (view)
[54] Sudjana, T. (1996). Pelabuhan Cirebon Dahulu dan Sekarang. In S. Zuhdi. (Ed.), Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutera. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. (view)
[55] Sulistiyono, S. T. (1994). Perkembangan Pelabuhan Cirebon dan Pengaruhnya Terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Kota Cirebon 1859-1930. Thesis Universitas Gadjah Mada. (view)
[56] Taulu, H. (1955). Sedjarah Minahasa. Manado: Badan Penerbit dan Penjiar Buku Membangun. (view)
[57] Taylor, J. G. (2003). Indonesia Peoples and Histories. New Heaven: Yale University Press. (view)
[58] Tim Penelitian. (2012). Laporan Penelitian Pusat Peradaban Minahasa Perkembangan Hunian dan Budaya Minahasa. Manado: Balai Arkeologi Manado. (view)
[59] Tim Penyusun. (1978). Adat Istiadat Daerah Sulawesi Utara. Jakarta: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (view)
[60] Wahyono, E. (1996). Pembudidayaan dan Perdagangan Kopra di Minahasa (1870-1942). Thesis Universitas Indonesia. (view)
[61] Watuseke, F.S. (1962). Sedjarah Minahasa. Manado: Pertjetakan Negara. (view)
[62] Watuseke, F. (1995). Sejarah Perkabaran Injil di Minahasa, 1831-1942. Antropologi Indonesia, 0(51), 15-34. (view)
[63] Wojowasito. (2000). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. (view)